Awal tahun 2013 kembali kita dikejutkan dengan kasus suap import daging sapi. Tidak tanggung-tanggung, tersangkanya adalah seorang presiden dari partai yang selama ini dikenal partai yang 'alim' dan konsisten terhadap kesejahteraan rakyat. Entah apa yang ada di pikiran elite politik, ketika mereka berada di puncak kejayaannya, cenderung membawa perilaku mereka yang menyimpang. Meskipun masih dalam tahap penyidikan, tak pelak berita ini membuat banyak orang berdecak, geleng kepala bahkan sumpah serapah keluar dari masyarakat bawah yang notabene merasa dikibuli oleh orang yang pernah 'dipilihnya'.
Ironisnya, setelah diungkap KPK, uang hasil suap berkurang Rp. 10.000.000,-. Selidik-punya selidik uang tersebut bersarang di tas milik seorang perempuan cantik yang dikencani orang kepercayaan sang presiden partai. Alamaaaaakkk, ternyata begitu rapuhnya ketika seseorang dihadapkan dengan uang berlimpah dan perempuan. Mata menjadi gelap, hati jadi busuk, tetapi perilaku dibuat seolah-olah orang alim.
Negeri ini sudah terlalu letih dengan persoalan yang terus berulang, yaitu KORUPSI. Lantas bagaimana lagi caranya agar negeri ini sembuh dari sakitnya yang sudah akut ini. Tidak ada lagi panutan yang bisa dipakai contoh oleh rakyat. Dari persoalan guru yang karena dana sertifikasi (yang berakibat bertambahnya pendapatan) merubah kepribadiannya menjadi bukan lagi 'digugu lan ditiru' tetapi menjadi 'wagu tur saru'. Banyak kasus belakangan ini yang menyangkut nama guru yang sering cek in di hotel dengan sesama guru yang bukan pasangan resminya.
Nampaknya petinggi negeri ini masih belum berubah, sejak orde lama, orde baru, dan masa reformasi. Untuk memperoleh kursi empuk, baik di DPR maupun lembaga kepresidenan, masih saja melakukan hal-hal yang saling menjatuhkan. Tidak peduli itu kawan atau lawan. Selama masih bisa 'dikendalikan', maka dialah kawan. Tetapi jika mereka sudah dianggap 'membangkang' maka akan dianggap lawan. Apalagi mendekati apa yang selama ini disebut 'pesta demokrasi'.
Layaknya sebuah sekuel drama, kejadian-kejadian itu selalu berulang meski di tempat dan waktu serta pemeran yang berbeda. Tidak perlu pakar politik untuk menebak akhir sebuah ceritanya, masyarakat paling bawah pun sudah mengira akhir dari alur sebuah cerita politik negeri ini. Dan satu hal yang tidak pernah berubah, aktor utama dalam sebuah kasus tidak pernah muncul di panggung. Justru mereka yang bersihlah yang kadang-kadang muncul sebagai 'kambing hitam' dan harus rela duduk dikursi pesakitan, hanya untuk 'menyelamatkan organisasi' atau bahkan ketua organisasi politik tersebut. Sungguh malang memang. Ironisnya penegak hukum terkadang juga hanya melihat 'fakta hukum' secara administratif sebagaimana tertuang dalam BAP sebuah kasus.
Nampaknya petinggi negeri ini masih belum berubah, sejak orde lama, orde baru, dan masa reformasi. Untuk memperoleh kursi empuk, baik di DPR maupun lembaga kepresidenan, masih saja melakukan hal-hal yang saling menjatuhkan. Tidak peduli itu kawan atau lawan. Selama masih bisa 'dikendalikan', maka dialah kawan. Tetapi jika mereka sudah dianggap 'membangkang' maka akan dianggap lawan. Apalagi mendekati apa yang selama ini disebut 'pesta demokrasi'.
Layaknya sebuah sekuel drama, kejadian-kejadian itu selalu berulang meski di tempat dan waktu serta pemeran yang berbeda. Tidak perlu pakar politik untuk menebak akhir sebuah ceritanya, masyarakat paling bawah pun sudah mengira akhir dari alur sebuah cerita politik negeri ini. Dan satu hal yang tidak pernah berubah, aktor utama dalam sebuah kasus tidak pernah muncul di panggung. Justru mereka yang bersihlah yang kadang-kadang muncul sebagai 'kambing hitam' dan harus rela duduk dikursi pesakitan, hanya untuk 'menyelamatkan organisasi' atau bahkan ketua organisasi politik tersebut. Sungguh malang memang. Ironisnya penegak hukum terkadang juga hanya melihat 'fakta hukum' secara administratif sebagaimana tertuang dalam BAP sebuah kasus.
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar yang membangun...