07 January 2014

KULIAH KERJA NYATA (KKN), MASIHKAH DIBUTUHKAN ?



Pendahuluan
Kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu bentuk kegiatan yang memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk hidup ditengah-tengah masyarakat diluar kampus, sekaligus sebagai proses pembelajaran serta mengabdi kepada masyarakat yang sedang membangun dan secara langsung mengidentifikasi serta menangani masalah-masalah pembangunan yang sedang dihadapi oleh masyarakat.
Pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata merupakan manifestasi dari Tri Darma Perguruan Tinggi yang ketiga yaitu pengabdian kepada masyarakat, dimaksudkan untuk membantu masyarakat khususnya masyarakat daerah tertinggal dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat disamping itu juga untuk membantu pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di segala bidang untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur baik materil maupun spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945. 
Kuliah Kerja Nyata juga sebagai salah satu wahana bagi mahasiswa untuk mengaplikasikan teori-teori yang dimilikinya kedalam sebuah wujud nyata pengabdian kepada masyarakat serta dapat mengaktualisasikan disiplin ilmu yang masih dalam tataran teoritis terhadap realisasi praktis dengan bentuk pengabdian dan pendampingan langsung kepada masyarakat disamping penelitian yang dilakukan sebagai usaha pengembangan ilmu yang didapat sebelumnya
Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah salah satu kegiatan intra kurikuler yang harus / wajib  diikuti oleh mahasiswa pada era sebelum tahun 1997 (di UNS). Sebagai salah satu mata kuliah wajib, KKN berkedudukan sama dengan mata kuliah-mata kuliah lain, sehingga pada akhir kegiatan juga dilakukan evaluasi. KKN dilakukan dengan menerjunkan mahasiswa langsung ke lokasi-lokasi tertentu (biasanya pedesaan) dalam kurun waktu 2 – 3 bulan. Dalam waktu tersebut mahasiswa dituntut untuk berbaur dengan masyarakat tanpa mengenal latar belakang sosial, budaya bahkan disiplin ilmu yang ditekuni. Biasanya pelaksanaan KKN dibagi menjadi kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya merupakan gabungan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini dilakukan agar sesuai dengan kebutuhan  masyarakat dimana kompleksitas permasalahan yang ada dimasyarakat memerlukan pemecahan secara menyeluruh, bukan hanya dari satu sudut pandang.
Saya masih ingat betul, betapa mahasiswa KKN begitu dihormati oleh masyarakat sasaran, sebab mahasiswa KKN dianggap “tahu segala hal”. Sehingga ketika terjadi permasalah, bahkan masalah rumah tangga sekalipun, mereka selalu “curhat” dengan mahasiswa KKN. Yang paling saya ingat adalah ketika ada anggota masyarakat yang mempunyai hajat menikahkan putrinya tidak segera dimulai hanya karena “mas KKN” belum datang. Setelah kami datang, ternyata didaulat untuk memberikan sambutan. Dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak kita duga sebelumnya.
Terkadang kami merasa bahwa di lokasi KKN itu bukan kami yang “memberi sesuatu” kepada masyarakat, tetapi justru kamilah yang banyak belajar dari masyarakat. Mahasiswa sebelum melakukan KKN ibarat katak dalam tempurung. Merasa sudah hebat dengan IPK yang tinggi, aktivis, penampilan perlente, bahasa yang sok intelek. Tetapi senyatanya mereka belum tahu apa-apa tentang hidup dan kehidupan yang sebenarnya.
KKN merupakan kawah Candardimuka-nya mahasiswa yang akan lulus studi. Sudah siapkah atau belum akan bisa dilihat ketika mereka mengikuti KKN. KKN merupakan media yang sangat strategis dalam membentuk kepribadian mahasiswa sekaligus menguji sampai di mana kekritisan mahasiswa menghadapi permasalahan yang sebenarnya. Saya katakana permasalahan yang sebenarnya ? Ya, sebab permasalahan yang muncul di kampus dan sekitar mahasiswa barulah masalah yang semu, belum masalah sebenarnya. Masalah yang sebenarnya adalah yang ada di luar kampus. Ya di masyarakat itulah permasalahan hidup sebenarnya muncul. Oleh karenanya KKN menjadi media yang tepat bagi mahasiswa untuk menjawab sekaligus menghadapi masalah hidup sebenarnya.
Melihat begitu kompleks-nya permasalahan yang ada di masyarakat, tidak semua mahasiswa bisa mengambil mata kuliah ini, ada beberapa persayaratan agar mahasiswa bisa mengambil mata kuliah KKN. Diantaranya adalah bahwa mahasiswa bisa mengambil mata kuliah KKN apabila sudah mengumpulkan kredit minimal sebanyak 110 SKS. Harapannya, dengan perolehan SKS tersebut, diharapkan secara psikis mahasiswa sudah cukup “matang” dan kemampuan keilmuan teorinya pun sudah bisa dikatakan mencukupi untuk membantu masyarakat (pedesaan).

Mahasiswa KKN bukan Sinterklas
Meskipun KKN memiliki posisi strategis dalam pengembangan kepribadian mahasiswa, namun demikian tidak dipungkiri bahwa dalam pelaksanaannya masih saja terjadi penyimpangan. Sering terjadi di lokasi KKN (biasanya terjadi di masyarakat yang ada di lingkungan kota kecamatan), bahwa mahasiswa KKN dianggap berhasil apabila bisa memenuhi keinginan masyarakat berupa bantuan-bantuan fisik. Hal ini kerap mendatangkan masalah bagi mahasiswa, sehingga akhirnya mereka harus patungan untuk mewujudkan keinginan warga masyarakat tersebut.
Kenapa ini saya anggap penyimpangan ? Mahasiswa KKN seharusnya hanya menjadi fasilitator dan motivator bagi masyarakat sasaran, bukan menjadi Sinterklas yang harus memenuhi semua keinginan warga masyarakat khususnya untuk hal-hal yang sifatnya fisik, misalnya pengaspalan jalan, pembuatan gorong-gorong, pembuatan jembatan dan lain-lain. Hal tersebut tidak jarang terjadi di lokasi KKN. Hal ini seharusnya menjadi pemikiran institusi untuk lebih mengoptimalkan komunikasi antara kampus dengan masyarakat sasaran sehingga KKN tidak lepas dari ruhnya semula, yakni membelajarkan mahasiswa bukan mengkaryakan mahasiswa.
Banyak hal yang dapat dilakukan mahasiswa KKN selain harus membangun bangunan-bangunan fisik. Mahasiswa KKN bisa memberikan motivasi masyarakat petani agar memiliki jiwa kewirausahaan misalnya. Sebab selama ini kenapa kehidupan petani tidak banyak berubah ? Salah satu sebabnya adalah paradigma berpikir petani yang masih tradisional. Selama ini petani hanya melakukan pekerjaan mengolah, menanan, dan memanen hasil pertaniannya. Ketika sampai giliran mau menjual, mereka tidak mau lagi repot, akhirya dijuallah hasil pertaniannya kepada tengkulak. Tentu saja harga yang diterima tidak sebanding dengan harga jual sebenarnya. Di sinilah peran mahasiswa KKN, bagaimana menumbuhkan jiwa wirausaha pada petani, sehingga mereka bisa menjual hasil pertanian mereka sendiri (bukan lagi kepada tengkulak) dengan harga yang normal.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memotivasi perkumpulan-perkumpulan RT, PKK maupun Karang Taruna agar lebih produktif dan menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis bagi mereka. Saya kira hal seperti ini lebih penting daripada sekedar membuatkan jembatan, gorong-gorong, dan pekerjaan-pekerjaan fisik lain. Untuk bisa memberikan motivasi-motivasi tersebut, komunikasi yang efektif perlu dibangun antara mahasiswa KKN dengan masyarakat sasaran. Mahasiswa harus benar-benar bisa membawa diri, bukan malah merasa dirinya lebih tinggi dari warga masyarakat sasaran.

Hilangnya Mata Kuliah KKN dari Kurikulum
Kenapa Mata Kuliah KKN dihilangkan dari kurikulum ? Inilah pertanyaan saya sejak masih kuliah sampai sekarang, dan sampai saat inipun jawaban itu tidak pernah saya temukan. Ada beberapa sumber pada saat itu menyatakan bahwa kenapa KKN ditiadakan, lebih pada persoalan gonjang-ganjing perekonomian Indonesia yang lumayan parah. Seperti diketahui awal-awal tahun 1997 dan memuncak pada Mei 1998 perekonomian Indonesia mengalami krisis yang cukup fantastis. Kondisi ekonomi yang carut marut dijadikan dasar untuk menghentikan KKN dan menggantinya dengan mata kuliah lain agar tidak membebani masyarakat sasaran (katanya). Meskipun pada saat itu, berdasarkan hasil wawancara dengan para pejabat di lingkungan FKIP UNS sebagian besar menyatakan bahwa tidak ada mata kuliah yang bisa menggatikan KKN.
Ada hal yang menarik dari hasil kajian di kalangan aktivis mahasiswa pada saat itu. Awal mula ditiadakannya KKN dikaitkan dengan akan diadakannya pesta demokrasi pada bulan (kalo tidak salah) Juni 1997. Seperti diketahui, sebelum reformasi ada kekuatan politik yang luar biasa dari salah satu partai, sampai-sampai kekuatan itu terasa sekali masuk ke kehidupan kampus. Keberadaan mahasiswa KKN di lokasi dikhawatirkan akan mempengaruhi perolehan suara mayoritas, sehingga KKN harus ditiadakan.
Terlepas dari apa penyebab dihilangkannya KKN dari kurikulum, mengingat sangat pentingnya KKN dalam pembentukan pribadi mahasiswa (calon lulusan) dalam bermasyarakat, tidak seharusnya KKN itu dihilangkan begitu saja. Apalah arti seorang sarjana yang lulus dengan predikat cum laude, jika tidak mampu mengatasi dan peka terhadap persoalan-persoalan masyarakat di sekitarnya, maupun persoalan-persoalan bangsa ini.
Mahasiswa selaku agent of change punya peran kontrol yang lebih besar terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat maka harus berani untuk menegurnya demi terwujudnya pembangunan rakyat yang adil dan makmur. Dengan media KKN inilah, mahasiswa dapat mengasah kemampuan serta ketrampilannya dalam menyiapkan dirinya sebagai agent of change.
Menghilangnya KKN dari kurikulum merupakan “kecelakaan” bagi perguruan tinggi, dimana perguruan tinggi seharusnya melakukan tugas pengabdian kepada masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada pasal 20 ayat 2 dinyatakan : “Perguruan Tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat”. Selanjutnya pada pasal 24 ayat 2 juga disebutkan, “Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah dan pengabdian masyarakat.”  
Wallahu alam bishowab..

19 April 2013

Ayah Menggendong Mayat Anaknya Dari RSCM Ke Bogor Karena Tak Mampu Bayar Ambulan !!

Penumpang kereta rel listrik (krl) jurusan Jakarta – Bogor pun geger Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, khaerunisa (3 thn).
Supriono akan memakamkan si kecil di kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa krl. Tapi di stasiun tebet, supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa khaerunisa untuk berobat ke puskesmas kecamatan setiabudi. Saya hanya sekali bawa khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya rp 10.000,- per hari. Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel ka di cikini itu.
Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, muriski saleh (6 thn), untuk memulung kardus di manggarai hingga salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00.
Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan muriski termangu. Uang di saku tinggal rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari manggarai hingga ke stasiun tebet, supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di kramat, bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di stasiun tebet.
Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau khaerunisa sudah menghadap sang khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika krl jurusan bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang krl yang mendengar penjelasan supriono langsung berkerumun dan supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.

Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.
Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat khaerunisa yang terbujur kaku. Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor.

Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah khaerunisa. Jangan bilang keluarga supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia, ujarnya.

Bagikan agar semua orang tau betapa besarnya cinta seorang "AYAH".

Jika menurut kalian, artikel ini bermanfaat.
SilaHkan di-share untuk teman Anda, sahabat Anda, keluarga Anda, atau bahkan orang yang tidak Anda kenal sekalipun.