21 April 2007

Ujian Nasional, antara Tuntutan Kualitas dan Harga Diri



Lega, mungkin itulah yang dirasakan oleh anak-anak kita, khususnya siswa kelas III SMA se-Indonesia yang beberapa hari lalu telah melaksanakan ujian nasional secara serentak seluruh Indonesia. Ada sebagian siswa begitu keluar dari ruang ujian dengan wajah berseri penuh percaya diri, ada yang cuma bersikap biasa-biasa seolah tanpa beban, dan sebagian yang lain tak mampu menyembunyikan kegundahan akan hasil ujiannya.
Tak dipungkiri bahwa ujian nasional yang baru dilaksanakan kira-kira 2 kali selama rezim reformasi menjadi momok sebagian besar anak-anak kita. Mereka khawatir apa yang telah dirancang selama tiga tahun akan hancur dalam sekejap, gara-gara sakit perut dan tak bisa mengikuti salah satu mata pelajaran yang diuji-nas-kan. Mereka kadang sudah 'nerves' duluan sebelum benar-benar mengikuti ujian nasional. Kenapa hal ini bisa terjadi ? Ya, sebab selama ini kita selalu 'berat' untuk mengakui kelemahan kita sendiri, kita, bahkan sistem yang terjadi mengkondisikan bahwa 'tidak lulus' ujian adalah merupakan aib. Nah, sebagaimana insting kebanyakan manusia, bahwa aib harus dijaga, ditutup, kalau bisa dibuang sejauh mungkin sehingga akan tetap menempatkan kita sebagai 'manusia terhormat' tanpa cela.
Kekacauan cara berpikir ini tidak hanya menghinggapi siswa sebagai pelaku ujian, tapi orang tua, guru bahkan kepala sekolah. Orang tua akan malu/khawatir jika anaknya dikatakan lebih goblok dari anak tetangganya, atau kadang juga khawatir kena getah 'bodoh' karena ketidaklulusan anaknya. Guru akan merasa tidak bisa mengajar jika siswanya tidak lulus ujian, sementara dia harus mempertanggungjawabkan kepada publik tentang keahlian profesinya (padahal sudah terlanjur meminta tunjangan profesi kepada pemerintah ??). Sementara kepala sekolah tidak mau malu jika sekolah yang dipimpinnya dianggap oleh masyarakat sebagai sekolah nomor buntut.
Dari situlah kemudian muncul 'perlombaan' untuk menjadi yang terbaik diantara yang lain, meski dengan cara-cara yang tidak baik, sehingga terjadilah seorang Kepala Sekolah 'mengutil' soal ujian nasional yang baru datang dari propinsi, sekolah memberi lembar jawaban doubel kepada siswa dengan dalih untuk lembar pengendali jawaban, tapi ketika diterawang lembar jawab tersebut berisi titik-titik pada abjad opsion jawaban dan masih banyak lagi (mungkin).
Nampaknya dunia pendidikan kita sejauh ini masih terlalu rapuh untuk menuju kualitas yang lebih baik. Jadi, apa yang terpampang di lembar kertas transkrip akademik (raport) atau apalah namanya, belum merupakan representasi dari kemampuan akademik siswa, sebab lembaran itu ternyata masih bisa 'dibuat' sesuai keinginan orang tua siswa, guru bahkan kepala sekolah.
Sedih memang, jika kita melihat kondisi pendidikan anak-anak kita. Pertanyaannya sampai kapan bangsa ini akan mempertahankan harga diri sialan itu yang nyatanya jelas-jelas menipu diri sendiri bahkan menipu orang lain.
Tidak heran ketika sekarang kita melihat orang-orang penting negeri ini banyak korup, asal ngomong sebab memang ketika kita lihat perjalanan akademisnyapun masih sperti itu. Apa iya kita akan selalu menciptakan orang-orang yang tidak bermoral seperti ini ?
Untuk anak-anakku yang mungkin tidak lulus ujian nasional tahun ini, janganlah gundah ! Sebab itulah sebenarnya kemampuan Ananda, tapi bukan berarti itu tidak bisa diperbaiki. Nanda harus yakin dengan diri nanda sendiri, karena tidak ada seorangpun yang bisa mengubah diri nanda, kecuali nanda sendiri. Yakinlah, ketidaklulusan nanda saat ini bukanlah bencana, bukan aib, bukan ! Itu hanyalah cermin bagi nanda, nanda harus segera sadar dan memperbaiki kesalahan, jangan lantas larut dalam kesedihan berkepanjangan. Belum tentu yang lulus ujian kali ini, benar-benar dari jerih payah mereka !

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar yang membangun...