Pendahuluan
Kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu bentuk kegiatan yang memberikan
pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk hidup ditengah-tengah masyarakat
diluar kampus, sekaligus sebagai proses pembelajaran serta mengabdi kepada
masyarakat yang sedang membangun dan secara langsung mengidentifikasi serta
menangani masalah-masalah pembangunan yang sedang dihadapi oleh masyarakat.
Pelaksanaan
Kuliah Kerja Nyata merupakan manifestasi dari Tri Darma Perguruan Tinggi yang
ketiga yaitu pengabdian kepada masyarakat, dimaksudkan untuk membantu
masyarakat khususnya masyarakat daerah tertinggal dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat disamping itu juga untuk
membantu pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di segala bidang
untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur baik materil maupun
spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Kuliah
Kerja Nyata juga sebagai salah satu wahana bagi mahasiswa untuk mengaplikasikan
teori-teori yang dimilikinya kedalam sebuah wujud nyata pengabdian kepada
masyarakat serta dapat mengaktualisasikan disiplin ilmu yang masih dalam
tataran teoritis terhadap realisasi praktis dengan bentuk pengabdian dan
pendampingan langsung kepada masyarakat disamping penelitian yang dilakukan
sebagai usaha pengembangan ilmu yang didapat sebelumnya
Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah
salah satu kegiatan intra kurikuler yang harus / wajib diikuti oleh mahasiswa pada era sebelum tahun
1997 (di UNS). Sebagai salah satu mata kuliah wajib, KKN berkedudukan sama
dengan mata kuliah-mata kuliah lain, sehingga pada akhir kegiatan juga
dilakukan evaluasi. KKN dilakukan dengan menerjunkan mahasiswa langsung ke
lokasi-lokasi tertentu (biasanya pedesaan) dalam kurun waktu 2 – 3 bulan. Dalam
waktu tersebut mahasiswa dituntut untuk berbaur dengan masyarakat tanpa
mengenal latar belakang sosial, budaya bahkan disiplin ilmu yang ditekuni.
Biasanya pelaksanaan KKN dibagi menjadi kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya
merupakan gabungan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini dilakukan
agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dimana
kompleksitas permasalahan yang ada dimasyarakat memerlukan pemecahan secara
menyeluruh, bukan hanya dari satu sudut pandang.
Saya masih ingat betul, betapa
mahasiswa KKN begitu dihormati oleh masyarakat sasaran, sebab mahasiswa KKN
dianggap “tahu segala hal”. Sehingga ketika terjadi permasalah, bahkan masalah
rumah tangga sekalipun, mereka selalu “curhat” dengan mahasiswa KKN. Yang
paling saya ingat adalah ketika ada anggota masyarakat yang mempunyai hajat
menikahkan putrinya tidak segera dimulai hanya karena “mas KKN” belum datang. Setelah kami datang, ternyata didaulat untuk
memberikan sambutan. Dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak kita duga
sebelumnya.
Terkadang kami merasa bahwa di
lokasi KKN itu bukan kami yang “memberi sesuatu” kepada masyarakat, tetapi
justru kamilah yang banyak belajar dari masyarakat. Mahasiswa sebelum melakukan
KKN ibarat katak dalam tempurung. Merasa sudah hebat dengan IPK yang tinggi,
aktivis, penampilan perlente, bahasa yang sok intelek. Tetapi senyatanya mereka
belum tahu apa-apa tentang hidup dan kehidupan yang sebenarnya.
KKN merupakan kawah Candardimuka-nya mahasiswa yang akan
lulus studi. Sudah siapkah atau belum akan bisa dilihat ketika mereka mengikuti
KKN. KKN merupakan media yang sangat strategis dalam membentuk kepribadian
mahasiswa sekaligus menguji sampai di mana kekritisan mahasiswa menghadapi
permasalahan yang sebenarnya. Saya katakana permasalahan yang sebenarnya ? Ya,
sebab permasalahan yang muncul di kampus dan sekitar mahasiswa barulah masalah
yang semu, belum masalah sebenarnya. Masalah yang sebenarnya adalah yang ada di
luar kampus. Ya di masyarakat itulah permasalahan hidup sebenarnya muncul. Oleh
karenanya KKN menjadi media yang tepat bagi mahasiswa untuk menjawab sekaligus
menghadapi masalah hidup sebenarnya.
Melihat begitu kompleks-nya
permasalahan yang ada di masyarakat, tidak semua mahasiswa bisa mengambil mata
kuliah ini, ada beberapa persayaratan agar mahasiswa bisa mengambil mata kuliah
KKN. Diantaranya adalah bahwa mahasiswa bisa mengambil mata kuliah KKN apabila
sudah mengumpulkan kredit minimal sebanyak 110 SKS. Harapannya, dengan
perolehan SKS tersebut, diharapkan secara psikis mahasiswa sudah cukup “matang”
dan kemampuan keilmuan teorinya pun sudah bisa dikatakan mencukupi untuk
membantu masyarakat (pedesaan).
Mahasiswa KKN
bukan Sinterklas
Meskipun KKN memiliki posisi
strategis dalam pengembangan kepribadian mahasiswa, namun demikian tidak
dipungkiri bahwa dalam pelaksanaannya masih saja terjadi penyimpangan. Sering
terjadi di lokasi KKN (biasanya terjadi di masyarakat yang ada di lingkungan
kota kecamatan), bahwa mahasiswa KKN dianggap berhasil apabila bisa memenuhi
keinginan masyarakat berupa bantuan-bantuan fisik. Hal ini kerap mendatangkan
masalah bagi mahasiswa, sehingga akhirnya mereka harus patungan untuk
mewujudkan keinginan warga masyarakat tersebut.
Kenapa ini saya anggap penyimpangan
? Mahasiswa KKN seharusnya hanya menjadi fasilitator dan motivator bagi
masyarakat sasaran, bukan menjadi Sinterklas yang harus memenuhi semua
keinginan warga masyarakat khususnya untuk hal-hal yang sifatnya fisik,
misalnya pengaspalan jalan, pembuatan gorong-gorong, pembuatan jembatan dan
lain-lain. Hal tersebut tidak jarang terjadi di lokasi KKN. Hal ini seharusnya
menjadi pemikiran institusi untuk lebih mengoptimalkan komunikasi antara kampus
dengan masyarakat sasaran sehingga KKN tidak lepas dari ruhnya semula, yakni
membelajarkan mahasiswa bukan mengkaryakan mahasiswa.
Banyak hal yang dapat dilakukan
mahasiswa KKN selain harus membangun bangunan-bangunan fisik. Mahasiswa KKN
bisa memberikan motivasi masyarakat petani agar memiliki jiwa kewirausahaan
misalnya. Sebab selama ini kenapa kehidupan petani tidak banyak berubah ? Salah
satu sebabnya adalah paradigma berpikir petani yang masih tradisional. Selama
ini petani hanya melakukan pekerjaan mengolah, menanan, dan memanen hasil
pertaniannya. Ketika sampai giliran mau menjual, mereka tidak mau lagi repot,
akhirya dijuallah hasil pertaniannya kepada tengkulak. Tentu saja harga yang
diterima tidak sebanding dengan harga jual sebenarnya. Di sinilah peran
mahasiswa KKN, bagaimana menumbuhkan jiwa wirausaha pada petani, sehingga
mereka bisa menjual hasil pertanian mereka sendiri (bukan lagi kepada
tengkulak) dengan harga yang normal.
Hal lain yang dapat dilakukan
adalah dengan memotivasi perkumpulan-perkumpulan RT, PKK maupun Karang Taruna
agar lebih produktif dan menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis bagi
mereka. Saya kira hal seperti ini lebih penting daripada sekedar membuatkan
jembatan, gorong-gorong, dan pekerjaan-pekerjaan fisik lain. Untuk bisa
memberikan motivasi-motivasi tersebut, komunikasi yang efektif perlu dibangun
antara mahasiswa KKN dengan masyarakat sasaran. Mahasiswa harus benar-benar
bisa membawa diri, bukan malah merasa dirinya lebih tinggi dari warga
masyarakat sasaran.
Hilangnya Mata
Kuliah KKN dari Kurikulum
Kenapa Mata Kuliah KKN dihilangkan
dari kurikulum ? Inilah pertanyaan saya sejak masih kuliah sampai sekarang, dan
sampai saat inipun jawaban itu tidak pernah saya temukan. Ada beberapa sumber
pada saat itu menyatakan bahwa kenapa KKN ditiadakan, lebih pada persoalan gonjang-ganjing perekonomian Indonesia
yang lumayan parah. Seperti diketahui awal-awal tahun 1997 dan memuncak pada
Mei 1998 perekonomian Indonesia mengalami krisis yang cukup fantastis. Kondisi
ekonomi yang carut marut dijadikan dasar untuk menghentikan KKN dan menggantinya
dengan mata kuliah lain agar tidak membebani masyarakat sasaran (katanya).
Meskipun pada saat itu, berdasarkan hasil wawancara dengan para pejabat di
lingkungan FKIP UNS sebagian besar menyatakan bahwa tidak ada mata kuliah yang
bisa menggatikan KKN.
Ada hal yang menarik dari hasil
kajian di kalangan aktivis mahasiswa pada saat itu. Awal mula ditiadakannya KKN
dikaitkan dengan akan diadakannya pesta demokrasi pada bulan (kalo tidak salah)
Juni 1997. Seperti diketahui, sebelum reformasi ada kekuatan politik yang luar
biasa dari salah satu partai, sampai-sampai kekuatan itu terasa sekali masuk ke
kehidupan kampus. Keberadaan mahasiswa KKN di lokasi dikhawatirkan akan
mempengaruhi perolehan suara mayoritas, sehingga KKN harus ditiadakan.
Terlepas dari apa penyebab
dihilangkannya KKN dari kurikulum, mengingat sangat pentingnya KKN dalam
pembentukan pribadi mahasiswa (calon lulusan) dalam bermasyarakat, tidak
seharusnya KKN itu dihilangkan begitu saja. Apalah arti seorang sarjana yang
lulus dengan predikat cum laude, jika
tidak mampu mengatasi dan peka terhadap persoalan-persoalan masyarakat di
sekitarnya, maupun persoalan-persoalan bangsa ini.
Mahasiswa
selaku agent of change punya peran kontrol yang lebih besar terhadap kebijakan pemerintah
yang dinilai tidak pro rakyat maka harus berani untuk menegurnya demi
terwujudnya pembangunan rakyat yang adil dan makmur. Dengan
media KKN inilah, mahasiswa dapat mengasah kemampuan serta ketrampilannya dalam
menyiapkan dirinya sebagai agent of
change.
Menghilangnya KKN dari kurikulum
merupakan “kecelakaan” bagi perguruan tinggi, dimana perguruan tinggi
seharusnya melakukan tugas pengabdian kepada masyarakat sebagaimana diamanatkan
dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada pasal
20 ayat 2 dinyatakan : “Perguruan Tinggi berkewajiban menyelenggarakan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat”. Selanjutnya
pada pasal 24 ayat 2 juga
disebutkan, “Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola
sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian
ilmiah dan pengabdian masyarakat.”
Wallahu alam bishowab..